RSS

Yang Miskin yang Berkorban



AP PHOTO/MOHAMMED SEENEEN
Presiden Maladewa Mohamed Nasheed menandatangani dokumen yang isinya mendesak semua negara untuk mengurangi emisinya menjelang Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) pada Konferensi Perubahan Iklim PBB, bulan Desember di Kopenhagen, dengan menyelam 6 meter di bawah permukaan laut di Pantai Girifushi, Maladewa, Sabtu (17/10). Para menteri dengan peralatan selam melakukan rapat kabinet untuk menunjukkan kepada dunia ancaman tenggelam yang dihadapi Maladewa akibat naiknya permukaan muka laut sebagai salah satu dampak perubahan iklim.

Tinggal 26 hari lagi dunia akan menyaksikan ”drama” yang akan dikenang oleh umat manusia, setidaknya pada empat dekade mendatang. Drama itu bertema perubahan iklim dengan setting kota Kopenhagen, Denmark, 7-18 Desember 2009.

Skenario awal sudah dituliskan pada lebih dari 1.500 lembar kertas yang berisi berbagai butir kesepakatan yang diharapkan bisa disepakati semua parties (baca: negara) dari Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Lebih dari 90 negara akan berkumpul di Kopenhagen berharap mendapatkan jawaban tentang apa yang akan dilakukan secara bersama untuk menghadapi tantangan perubahan iklim.

Persoalannya, negara kaya yang tergabung dalam kelompok Annex 1 malah mulai bergeser mundur, meminta agar kesepakatan yang dibuat bersifat tidak mengikat.

Negara-negara Annex 1 termasuk negara dengan ekonomi dalam transisi dari laporan tentang emisi gas rumah kaca (GRK) yang teranyar tahun ini—jika dihitung dengan memasukkan penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan deforestasi—ternyata pengurangan emisi agregat dibanding tahun 1990 mencapai 5,2 per sen dari 17.459,6 Triliun gram CO2 ekuivalen menjadi 16.547,1 Tg CO2 ekuivalen (UNFCCC, 2009).

Sementara itu, negara-negara Annex 1 nonnegara dengan transisi ekonomi, yang pada Protokol Kyoto 1997 dikenai kewajiban untuk mengurangi emisi karbonnya ternyata total emisi agregat termasuk penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan deforestasi (LULUCF) meningkat 11,2 persen pada kurun 1990-2007, sementara jika faktor LULUCF dimasukkan, emisinya naik 12,8 persen.

Kesulitan mengurangi emisi tersebut mendorong berbagai negara untuk memperkenalkan berbagai skema yang kemudian berujung pada perdagangan karbon yang ternyata oleh sejumlah negara ditolak.

Senat Amerika Serikat telah meloloskan undang-undang mengenai perubahan iklim—dengan undang-undang itu AS akan mengurangi emisi karbonnya hingga 20 persen dengan basis tahun 1990 pada tahun 2020.

Tegangan kaya-miskin

Dalam hiruk-pikuk perundingan bersama untuk mengatasi persoalan perubahan iklim, tegangan kaya-miskin semakin hari semakin meruncing.

Para perunding dan diplomat yang bertemu di Barcelona, Spanyol, ternyata belum mendapatkan kesepakatan baru. Bahkan terjadi gap yang semakin lebar antara negara miskin dan kaya.

”Pekerjaan ini tidak selesai, jauh dari harapan,” ujar negosiator dari Sudan, Lumumba Stanislaus Di-Aping, Ketua Group 77 dan China yang mewakili negara-negara miskin.

Bahkan sejumlah negara telah mengatakan tidak bersedia menandatangani kesepakatan yang mengikat—seperti Protokol Kyoto yang mewajibkan negara-negara Annex 1 mengurangi emisinya. Sebaliknya mereka justru mendorong adanya kesepakatan politis untuk mengurangi emisi karbon.

”Semua negara anggota G-77 dan China juga Afrika sudah berseru meminta negara maju mengurangi emisi, tetapi mereka menolak. Mereka bahkan meminta kami mengulur waktu sampai enam bulan,” tambah Di-Aping seperti dikutip Reuters. Adapun Amerika Serikat juga dikritik karena tidak menawarkan angka penurunan emisi secara tegas.

Padahal, semula Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) pada Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen tersebut dijadikan batas waktu adanya kesepakatan baru pengganti Protokol Kyoto. Pada perundingan di Barcelona, delegasi negara-negara Afrika sampai-sampai melakukan walk-out dan memboikot pertemuan.

”Ini fase sulit. Saya rasa semua pihak harus memainkan lagi perannya untuk dapat membuat kesepakatan mengikat yang kuat di Kopenhagen nanti. Itu butuh sekitar 12 bulan,” ujar Bill Hare, seorang ilmuwan dari Potsdam Institute, Jerman.

Delegasi RI melalui beberapa pendekatan bilateral mengeluarkan gagasan agar Kopenhagen menyepakati ”kesepakatan payung” berisi tujuan global jangka panjang, proses, hingga disepakati perjanjian internasional baru sebelum Juni 2010.

Kegeraman tak terucapkan telah mendorong Maladewa melakukan ”protes” dengan melakukan rapat kabinet di bawah air pada 17 Oktober lalu. Kabinet pemerintahan Presiden Maladewa Mohamed Nasheed menyerukan negara kaya mengurangi emisi karbonnya dengan serius. Maladewa merupakan salah satu negara pulau kecil yang terancam tenggelam akibat naiknya permukaan air laut.

Untuk menggedor nurani penguasa negara kaya, Maladewa juga mencanangkan sebagai negara dengan pembangkit listrik tenaga angin senilai 200 juta dollar AS dan menjadi ”negeri pulau kecil dengan karbon netral pada 2020”.

Tak kalah dengan Maladewa, Indonesia yang dinilai gambutnya adalah emiter terbesar di Asia, akibat keinginan besar untuk mendorong negara maju telah berani mengajukan angka 41 persen pengurangan emisi karbon tanpa berpikir panjang betapa pengurangan emisi sebanyak itu akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Maladewa dan Indonesia adalah negara-negara miskin dan berkembang yang prihatin akan kondisi stagnan perundingan. Kondisi yang akan menjerumuskan nasib umat manusia empat dekade mendatang. Inilah drama tragisnya: yang miskinlah rupanya yang rela berkorban sambil menunggu hal yang tak pasti: si kaya mungkin akan rela juga berkorban.

Related Posts by Categories



Post a Comment