RSS

Nisa's Quilt, Membayar Keahlian Pembuatnya


Ketika suami dipindahtugaskan ke kota atau negara lain, perempuan seringkali harus mengalah dan meninggalkan pekerjaannya sendiri demi mengikuti sang suami. Banyak perempuan yang lantas memilih menjadi ibu rumah tangga, namun tak sedikit pula yang mencoba membangun karir baru.

Menekuni hobi baru adalah pilihan Nisa Hariadi. Ketika mendampingi sang suami yang bertugas di Dallas, Texas, AS, pada tahun 1994, lulusan Politeknik ITB ini berkenalan dengan quilt.

Quilting adalah seni menggabung-gabungkan kain dengan ukuran dan potongan tertentu untuk membentuk motif-motif yang unik. Potongan-potongan kain tersebut lalu ditindas dengan jahitan model jelujur yang ukurannya harus sama jika dilihat dari sisi manapun. Karena prinsip mengerjakannya dengan tangan, boleh dibilang karya yang satu tidak akan sama persis dengan karya yang lain.

Nisa pun mempelajari teknik pengerjaan quilt. Dari teknik patchwork, dimana kain dipotong-potong dengan bentuk geometri, misalnya segiempat atau segitiga, dengan ukuran yang sama. Potongan-potongan berbentuk geometri ini lalu dijahit satu sama lain hingga menghasilkan suatu pola.

Teknik selanjutnya adalah appliqué. Pada teknik ini potongan-potongan kain dapat dibentuk menjadi gambar seperti binatang, bunga-bungaan, rumah, anak Jepang, dan lain sebagainya. Teknik terakhir adalah paper piecing, dimana kain perca yang sudah dialasi kertas di belakangnya, dilapis lagi dengan kain, lalu kain tersebut dijahit dengan lapisan teratas. Kertas itu lalu dibuang sedikit-sedikit ketika semua bagian sudah disatukan.

Merasa tertarik dengan seni yang berasal dari kebudayaan bangsa Amish ini, Nisa berusaha mencari tahu bagaimana cara membuatnya. Bersama beberapa rekannya di sana, ia mulai mengumpulkan perlengkapan membuat quilt, termasuk buku-buku teknik membuat quilt.

Dari Texas, sang suami dipindahkan ke Rumbai, Pekanbaru. Ternyata, salah satu kegiatan yang diadakan kalangan ekspatriat di perusahaan sang suami adalah kursus quilting. Tanpa pikir panjang, Nisa pun mengikuti kursus tersebut. Ditugaskannya kembali sang suami ke Amerika pada tahun 1999-2002 memberi kesempatan pada Nisa untuk terus meningkatkan keahliannya. Minatnya tak pernah surut, sehingga wanita yang kini berusia 40 tahun ini bertekad untuk lebih serius menekuni kerajinan ini. Berbagai buku dan peralatan khusus untuk quilt diburunya.

Kembali ke Pekanbaru, Nisa sudah berani mengajarkan quilt dalam acara kumpul ibu-ibu.

Mulai berbisnis
Tahun 2004, dari Pekanbaru wanita asal Bandung ini pindah ke Jakarta. Namun meskipun sudah menguasai seni quilting, dan sudah menjadi pengajar untuk kalangan dekatnya, Nisa tidak langsung terpikir untuk berbisnis. Hasil karyanya hanya dipajang saja di rumahnya. Padahal quilt dalam bentuk wall hanging saja sudah mencapai 50 pattern.

Peluang berbisnis datang tanpa disengaja. Saat itu Nisa sedang bertandang ke rumah sahabatnya, yang juga telah memiliki wall hanging karyanya. Lalu datang seorang tamu ke rumah sahabat Nisa, dan tercengang melihat hiasan dinding yang indah tersebut. Tamu yang ternyata staf sebuah kedutaan asing tersebut lalu menawarkan Nisa untuk mengikuti pameran Women International Club.

“Padahal, untuk bisa mengikuti pameran semacam itu biasanya harus mengikuti proses seleksi. Saya beruntung karena tidak perlu mengikuti berbagai prosedur biasanya,” kata Nisa.

Tahun 2005, untuk pertama kalinya Nisa berpameran di acara berskala besar seperti WIC, yang saat itu digelar di Gedung Nyi Ageng Serang, Kuningan, Jakarta Selatan. “Dari pameran itu, saya banyak berkenalan dengan orang-orang dari kedutaan asing. Dari mereka saya jadi tahu bagaimana cara mengikuti pameran-pameran yang lain,” ujar Nisa. Yang jelas, ia juga mulai mendapatkan pembeli dan pelanggan, dari dalam dan luar negeri.

Hingga kini, Nisa sudah berpartisipasi di berbagai pameran seperti Inacraft, La Femme, Indocraft, ANZA (Australian and New Zealand Embassy Bazaar), AWA (American Women Association Bazaar), IWA (Indian Women Association Bazaar), dan klab-klab kedutaan lainnya.

Banyak ekspatriat yang membeli quilt karya Nisa, karena harganya yang jauh lebih murah daripada di Amerika. Di sana, harga sepotong selimut bisa mencapai 10.000 dollar, sedangkan harga selimut Nisa “hanya” Rp 3,5 juta (ukuran besar) atau Rp 2 juta – Rp 2,5 juta (ukuran single, dan tergantung motif). Berbagai bentuk quilt lain yang dibuat Nisa antara lain wall hanging (Rp 1,5 juta), sajadah dan tasnya (Rp 850.000), juga taplak, sarung bantal sofa, korden, hingga cover sofa.

Harga yang mahal ini, menurut Nisa, tentunya karena quilt adalah suatu seni yang dikerjakan tangan. Membayar sekian juta untuk selimut artinya membayar keahlian perajinnya. Harga tersebut tentu sudah termasuk penggunaan bahan-bahan berkualitas, seperti benang khusus quilt yang masih diimpor. “Kalau benang jahit biasa kurang kuat. Jahitannya gampang brodol,” seru ibu dua anak ini.

Karena tingkat kesulitan pembuatannya yang tinggi itulah, Nisa juga tidak memproduksi quilt secara massal. Dalam sebulan, ia hanya menghasilkan empat potong selimut. Ia dibantu oleh sejumlah karyawan untuk memenuhi pesanan quilt berbagai bentuk.

Nisa juga tidak menaikkan harga barang ketika mengikuti pameran. “Itulah yang kadang membuat bisnis kolaps, karena harga saat pameran dibuat lebih mahal,” papar Nisa, yang kini omzet-nya mencapai Rp 50 juta sebulan.

Di antara pelanggan tetap Nisa itu, adalah Elfianty, sang sahabat yang mempertemukannya dengan staf kedutaan asing dulu. Sebelum mengoleksi karya Nisa, Elfi mengaku sudah sering melihat quilt di pasaran. “Tapi kalau beli di luar enggak ada yang bagus. Punya Nisa kan bagus-bagus, warna dan motifnya banyak variasi,” puji Elfi, yang sudah mempunyai empat sajadah, dan empat wall hanging untuk seluruh anggota keluarganya.

Ia sendiri mengaku awalnya juga ingin belajar membuat quilt pada sahabatnya itu (untuk mengikuti kursus quilt, silakan baca "Quilting, Seni Menggabungkan Kain Perca" di rubrik Hobby). “Tapi saya orangnya enggak sabaran. Akhirnya kalau peserta yang lain sibuk menjahit, saya malah pindah baca koran di depan rumah,” ujar Elfi sambil tertawa geli.

Elfi berusaha merawat koleksi quilt-nya sesuai instruksi dari Nisa. Quilt sebaiknya hanya dicuci setahun sekali. Mencucinya pun hanya boleh dengan shampo bayi. “Kalau pakai sabun deterjen, terlalu keras. Jahitannya bisa cepat rusak,” ujar Nisa. Setelah dikeringkan, selimut atau barang-barang quilt yang lain disimpan dengan tas dari bahan belacu.

Nisa kini sudah mampu menciptakan appliqué sendiri. Misalnya saja, ia melihat gambar ayam yang bagus pada perangkat cangkir dan teko. Gambar itu lalu difoto, di-scan, dan dijadikannya motif appliqué. Keahlian seperti ini menjadi modalnya sebagai quilt specialist, dan karena itu Nisa membedakan posisinya sebagai pengajar dan sebagai pelaku bisnis quilt. Pattern-pattern yang lebih rumit dan jumlahnya ribuan, serta motif temuannya sendiri, tidak dimasukkan dalam “kurikulum” kursusnya. Nisa hanya akan mengajarkan bila ada peserta (biasanya yang sudah ada di tingkat Advance) yang ingin mencoba membuatnya. Kelak, jika rajin berlatih peserta ini tentunya juga mampu menciptakan motif appliqué sendiri.

Karena itulah, meskipun para perajin quilt belajar dari sumber yang sama, masing-masing pasti memiliki kelebihan tersendiri. Hal ini tentu kembali pada prinsip quilting seperti telah disebut di awal tulisan: karena quilting dikerjakan dengan tangan, tak ada karya perajin yang mirip satu sama lain. Pembeli tinggal memilih mana yang sesuai dengan seleranya.

0 comments

Posted in

Desainer Muda, Bergerak Lewat Komunitas



Tepukan riuh dan teriakan pemberi semangat membuat udara di Fashion Tent, tempat utama pergelaran Jakarta Fashion Week 09/10 di Pacific Place yang disesaki sekitar 800 pengunjung, bertambah panas.

Selasa (17/11) sore itu, Stella Rissa, Jeffry Tan, dan Mel Ahyar menggelar rancangan mereka dalam ”3 Young and Vibrant Designers” yang disponsori Mazda.

Suasana mirip juga terjadi dalam acara Cleo Fashion Awards 2009 di panggung Koridor M, Rabu (18/11). Meskipun acara molor lebih satu jam dari jadwal, penonton semakin malam semakin ramai, sebagian besar orang muda. Mereka menunggu penampilan label Raiki, Kikichan, KLÉ, Nina Nikicio, Danjyo&Hiyoji, Majic., Geulis, dan Petite Cupcakes. Semua adalah merek yang dimiliki orang muda berusia 20-30 tahun. Penghargaan kemudian diberikan juri kepada KLÉ yang didirikan Kleting Titis Wigati pada Januari 2009.

Begitulah, para perancang muda itu memulai usaha. Membangun jejaring melalui komunitas adalah modal untuk memasarkan produk dan umumnya mereka berangkat dari kebutuhan praktis diri sendiri atau teman-teman.

”Komunitas penting banget untuk kami,” kata Dana Maulana (29) yang bersama Syarifah Liza (28) mengawaki Danjyo&Hiyoji.

”Blog juga membantu pemasaran kami,” kata Kleting, lulusan Esmod Jakarta dan Instituto Artistico dell’ Abbigliamento Marangoni, Milan, dan sempat bekerja di Miss Sixty, produk asal Inggris, di Hongkong.

Karena berkembang melalui komunitas, satu teman membicarakan dan merekomendasi suatu produk kepada teman lain. Dalam pemasaran modern, terutama menyangkut anak muda yang tak terikat lagi pada media konvensional, word of mouth diyakini lebih ampuh daripada iklan konvensional. Contohnya ketika BurgerKing Amerika awal tahun ini menawarkan burger whopper gratis kepada anggota facebook yang membuang teman facebook mereka, cara ini mendapat sambutan hangat dari anggota jejaring pertemanan dunia maya itu.

Label sekunder
Duet Cecilia Yuda (27) dan Lisa (26) memosisikan diri sebagai konsumen yang kesulitan mencari gaun cocktail atau gaun malam yang enak dipakai, cantik, dan harganya murah.

Setelah mengawali produksi tahun 2007 dengan satu penjahit, produk mereka, Benten, kini mempekerjakan 18 karyawan dan dijual di toko di rumah Lisa. Ditambah cara pemasaran online, Benten terjual hingga ke Singapura, Malaysia, Australia, dan Amerika Serikat.

Benten, yang diambil dari nama dewi keberuntungan Jepang yang cantik dan tangguh, menyediakan gaun untuk berbagai bentuk tubuh.

”Misalnya, untuk perempuan bertubuh pendek, tetapi ingin terlihat tinggi. Kami sengaja membuat beberapa contoh untuk tiap desain,” jelas Cecilia yang berpendidikan formal kehumasan di Melbourne, Australia. Adapun Lisa belajar financial banking. Tiap tahun Benten membuat 30 desain dan memasang harga Rp 1 juta-Rp 4 juta.

Adapun Stella Rissa, sejak awal sudah bulat ingin menjadi perancang busana siap pakai. Pergelaran di JFW adalah perkenalan lebih luas label sekundernya Stella.R yang diproduksi di Jakarta dan Bali.

Stella.R memakai konsep padu padan yang kuat. Meskipun bergaris sederhana dan tanpa batuan—tren mode saat ini—tetapi Stella.R penuh detail dengan teknik lipit dan lapis bahan tembus pandang.

”Stella.R diproduksi semimassal di Bali. Di sana lahan lebih luas karena kami mewarnai sendiri kain kami,” tutur Stella yang bermitra dengan dua rekan di Bali.

Dengan harga jual Rp 200.000-Rp 2,5 juta, Stella.R sanggup bersaing dengan produk sejenis dari negara tetangga. Tahun depan Stella.R akan dijual di toko independen Black Market di Singapura, menambah gerai saat ini di toko Gaya di Plaza Indonesia.

Tak heran bila Jeffrey dan Stella berharap kepada JFW. ”Harapan saya tidak muluk-muluk. Paling tidak bisa, seperti Sao Paulo atau Melbourne, didatangi pembeli internasional. Saya siap berproduksi kalau ada permintaan,” kata Jeffrey.

0 comments

Posted in

Meracik Laba dari Aneka Menu Bebek


Saat ini menu bebek sudah tidak asing lagi di lidah kita. Orang sudah mampu mengolah daging bebek sehingga tidak alot dan berbau amis seperti dulu. Tak heran gerai-gerai yang menjajakan aneka jenis menu dari daging bebek terus bermunculan. Agar bisa menggaet banyak pembeli, tentu masing-masing menonjolkan keunikan olahannya.

Salah satu restoran yang mengaku berhasil menciptakan menu bebek yang diminati banyak orang adalah restoran bebek goreng Mbah Wongso asal Yogyakarta. Rumah makan ini menyajikan berbagai menu bebek. Ada bebek goreng, bebek bakar, rica-rica bebek, dan bebek penyet.

Menurut Suanto, keunggulan menu bebeknya terletak pada tekstur bebek yang garing tetapi lembut, dan tanpa bau amis. Ini berkat ramuan bumbu khas Mbah Wongso yang dipadu sambal kocek, khas racikan tangan Suanto.

Anto -panggilan akrabnya- memulai usaha ini tahun 2002 di Yogyakarta. Usaha lelaki asli Solo ini terus berkembang, hingga akhirnya ia punya empat cabang dan namanya di kenal di Solo dan sekitarnya. Anto yakin minat terhadap menu bebek akan terus meningkat. Namun ia juga masih terus giat melakukan promosi. Di antaranya lewat pameran, internet, maupun koran lokal.

Tahun 2008, Anto pun menawarkan waralaba. Sekarang dia sudah punya lima terwaralaba yang membuka gerai di Malang, Pekalongan, Kudus, dan Jakarta.

Modal Rp 102 juta
Anto menawarkan paket waralaba seharga Rp 102 juta untuk wilayah Jawa, dan seharga Rp 122 juta untuk di luar Jawa. Paket waralaba tersebut sudah mencakup fee waralaba (franchise fee) sebesar Rp 35 juta untuk lima tahun, semua peralatan produksi, pelatihan karyawan, stok bahan baku pertama, seragam karyawan, dan promosi. Paket investasi itu juga sudah termasuk renovasi tempat, namun tidak termasuk biaya sewa tempat.

Seperti kebanyakan waralaba lain, Anto juga mengharuskan terwaralaba membeli daging bebek dari pihaknya. Untuk lalapan dan bumbu lainnya, terwaralaba bisa membeli dari tempat lain.

Harga menu tergantung lokasi gerai. Untuk bebek goreng, misalnya, Anto mematok harga Rp 10.000 per porsi untuk Yogya, dan Rp 14.000 di Jakarta. Harga rica-rica bebek Rp 15.000 di Yogya, dan Rp 19.000 di Jakarta. Tetapi, Anto tidak memberlakukan harga mati. Terwaralaba bisa menentukan harga sendiri.

Menurut hitungan Anto, jika terwaralaba bisa menjual 100 porsi atau sekitar 25 ekor per hari, terwaralaba bisa meraup omzet Rp 1,5 juta per hari, atau Rp 35 juta - Rp 45 juta per bulan. Setelah dikurangi semua biaya, termasuk sewa tempat, terwaralaba akan balik modal antara 12 bulan-18 bulan.

Nani Astono, salah satu mitra Bebek Goreng Mbah Wongso yang membuka gerai di Yogyakarta sejak awal 2009, menyatakan tertarik menjadi terwaralaba karena Mbah Wongso menawarkan menu lebih variatif.

Nani bilang sejauh ini ia sudah mempunyai banyak penggemar. Dalam sehari setidaknya ia bisa menghabiskan 20 ekor bebek, dengan omzet rata-rata Rp 1 juta. Namun ia mengaku, tingkat keuntungan bersih yang ia peroleh hanya 15%. Karena itu, ia belum bisa balik modal dalam waktu dekat ini.

Memulai Bisnis Laundry



Bagaimana memulai bisnis laundry? Mulai dari modalnya, perincian biaya untuk membeli alat dan fasilitas yang harus dipenuhi, hingga perkiraan pengeluaran per bulan dalam bisnis laundry dan keuntungannya. Selain itu, jika ingin ber-partner apa saja kriteria partner bisnis yang baik dan dapat dipercaya? Jika kita tak sanggup membeli alat atau fasilitas berat seperti mesin cucinya, apakah bisa menyewanya?

Di Indonesia ada beberapa jenis usaha yang masih termasuk ke dalam kategori bisnis laundry alias cuci-mencuci baju.

Bisnis laundry dari jenis yang paling sederhana dikenal dengan cuci-setrika. Bisnis ini biasanya menjamur di daerah yang banyak terdapat kos-kosan atau rumah kontrakan, dimana penyewa kos atau kontrakan tak sempat atau tak bisa melakukan cuci dan setrika baju sendiri. Biasanya ini dikerjakan oleh pembantu atau penjaga kos-kosan itu.

Sementara bentuk laundry yang canggih di Indonesia dari dulu dikenal dengan istilah binatu. Dalam bahasa modern saat ini lebih dikenal dengan istilah laundry & dry clean, dimana untuk laundry pakaian dicuci menggunakan mesin cuci. Sedangkan untuk dry clean pakaian dibersihkan dengan cairan kimia khusus yang bisa membersihkan dan merontokkan kotoran di pakaian tanpa dicuci secara biasa.

Usaha jenis ini yang dulu hanya dilakukan secara rumahan atau terdapat di hotel-hotel mewah untuk fasilitas tamunya, lalu mulai menjamur di tahun 1990-an, sejak dimulainya sistem franchise (waralaba) bisnis ini dari luar negeri.

Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir juga menjamur bisnis sejenis yang menggunakan waralaba lokal dan sistem agency yang bisa memberikan layanan dengan harga lebih terjangkau. Layanan, yang tadinya hanya diperuntukkan bagi masyarakat kelas atas, kini bisa dinikmati masyarakat kelas menengah ke bawah.

Tak berhenti sampai di situ, kombinasi antara layanan murah dengan layanan cuci-setrika tadi berkembang lebih kreatif lagi dengan munculnya laundry kiloan. Yaitu laundry biasa, tapi dengan harga yang dibayarkan berdasarkan hitungan kilogram (bukan per potong pakaian).

Nah, bila Anda menginginkan bisnis laundry untuk kelas menengah yang bisa terjangkau seluruh lapisan, mari kita lihat persiapan apa saja yang harus dilakukan.

Pertama, modal untuk investasi yang dibutuhkan untuk lokasi penjualan (outlet tempat menerima pelanggan atau cucian), lokasi mencuci, dan peralatan berupa mesin-mesin yang dibutuhkan, serta instalasi air, listrik, dan buangan air kotor.

Lokasi tempat menerima cucian dan tempat mencuci bisa dilakukan di tempat yang sama atau terpisah, mengingat dibutuhkan instalasi air yang memerlukan ruang dan biaya yang juga besar.

Ada pun mesin yang dibutuhkan adalah: cash register (mesin hitung uang), mesin cuci baju kapasitas besar/ industri, mesin pengering baju kapasitas besar, mesin setrika press besar, dan setrika tangan. Ini minimum standar mesin yang dibutuhkan untuk memulai usaha ini. Jika jumlah cucian belum terlalu banyak, mesin press (setrika otomatis) bisa digantikan seterika tangan yang harganya jauh lebih murah.

Mesin cash register digunakan di lokasi penerima cucian untuk mencatat dan menerima transaksi keuangan. Mesin cuci digunakan untuk mencuci pakaian yang bisa dicuci dengan mesin biasa, sedangkan pakaian yang tak bisa dicuci dengan mesin cuci biasa harus dicuci secara terpisah.

Kendati Indonesia negara tropis dengan matahari yang terus bersinar, kita tak bisa mengandalkan matahari untuk mengeringkan cucian. Selain itu, diperlukan ruang jemuran yang amat besar untuk mengeringkan pakaian. Bila musim hujan tiba, akan sulit untuk mengeringkan pakaian. Maka, dibutuhkan mesin pengering cucian.

Mesin setrika (press) otomatis juga diperlukan, tapi untuk mendapatkan press-line atau garis setrika yang jelas dan tegas biasanya tukang cuci lebih menyukai setrika tangan yang berat, karena memberikan hasil yang jauh lebih maksimal, meski membutuhkan tenaga pekerja lebih banyak.

Sedangkan untuk biaya operasional sehari-hari komponennya: biaya sewa tempat deterjen dan pelunak cucian, air, bahan kimia untuk dry-clean, dan SDM (pekerja). Untuk lokasi bisa di rumah sendiri, terutama lokasi untuk tempat mencuci. Sedangkan air, bisa pakai air tanah, tapi usahakan disaring lebih dulu karena air tanah yang kotor bisa merusak pakaian.

Di beberapa laundry modern, biasanya menggunakan mesin penyaring air sebelum digunakan atau mesin daur ulang air. Beberapa laundry modern yang lebih mewah dan mahal bisa menggunakan air minum mineral untuk mencuci pakaian pelanggan. Dibutuhkan 1 orang pekerja di tempat penerima cucian, 2 orang pekerja di tempat pencucian, 1 orang untuk mencuci, dan 1 orang lagi untuk setrika pakaian.

Modal terbesar yang harus dipersiapkan adalah untuk pembelian mesin-mesin dan sewa tempat. Adapun harga mesin relatif ke jenis mesin yang ingin dibeli. Mesin cuci punya spesifikasi, tergantung dari jumlah kilogram yang ingin dicuci apakah 10 kg, 20 kg, 30 kg, dan seterusnya, begitu juga dengan mesin pengering. Untuk mesin-mesin kelas industri keluaran Jerman memiliki kualitas terbaik, tapi harganya jauh lebih mahal dibandingkan mesin keluaran Jepang.

Untuk memulai usaha jenis rumahan, Anda bisa memakai mesin rumahan, tetapi daya tampung cucinya kurang besar. Sehingga bila permintaan cucian meningkat Anda harus menggunakan beberapa mesin cuci. Berbisnis laundry mengandalkan kuantitas yang besar, karena keuntungan per potong dari sisi nominal tak terlalu besar.

Maka, pemasaran atau jumlah cucian akan amat menentukan kapan investasi Anda kembali modal serta keuntungan yang ingin diraih. Jika usaha ini ingin dilakukan dengan skala menengah memang dibutuhkan modal yang cukup besar, antara ratusan juta sampai satu miliar rupiah.

Ber-partner jadi salah satu alternatif yang bisa dilakukan. Namun, mencari partner pun tak mudah. Harus ada kecocokan dan kesamaan visi dan misi dalam menjalankan usaha bersama. Juga harus ada hitung-hitungan tegas dan jelas dalam modal serta sistem bagi hasil. Jika tak dibuatkan dalam bentuk legal (badan hukum), harus ada perjanjian bersama yang mengikat.

Banyak sekali seluk beluk soal bisnis ini yang bisa Anda ketahui jika ingin memulainya di level menengah. Untuk informasi lebih lanjut, ada asosiasi atau perkumpulan dari pengusaha laundry (khususnya laundry menengah dan besar), dimana Anda bisa bertanya lebih spesifik dan mendetail seputar usaha ini. Salam usaha!
0 comments

Posted in