RSS

Peluang Bisnis Alpukat Hawaii Jumbo



Dahulu, jenis alpukat paling populer dibudidayakan masyarakat Indonesia adalah alpukat mentega yang rasanya manis. Tapi, saat ini tren ini bergeser. Kini varietas alpukat Hawaii yang meroket.

Salah satu pionir pembudidaya alpukat Hawaii ini adalah Prakoso Heryono. Pemilik Satya Pelita Nursery di Demak itu sudah mengembangkan alpukat Hawaii sejak sembilan tahun lalu. Kini, ia memiliki sekitar lima pohon.

Menurut Prakoso, selain lebih manis, ukuran alpukat Hawai jumbo juga jauh lebih besar dibanding jenis lain. Berat satu buah bisa mencapai 2 kilogram (kg), tiga kali lipat lebih alpukat biasa. Tekstur daging buah ini juga lebih padat, tapi tetap lunak ketika digigit.

Dengan berbagai keunggulan itu, alpukat jenis ini dijual Prakoso seharga Rp 25.000-Rp 30.000 per butir. Ini harga premium. Sekadar perbandingan, harga jual alpukat biasa saat ini hanya Rp 10.000 per kg isi sekitar 3 butir.

“Permintaan dari Jakarta dan Surabaya ke tempat saya mencapai empat kuintal per bulan. Tapi saya baru bisa memenuhi dua kuintal setiap kali panen,” ujar bapak 52 tahun ini.

Prakoso bukannya tak mau meningkatkan produksinya. Saat ini, Prakoso memilih lebih fokus menjual bibit alpukat Hawaii. Sebab, permintaannya sangat tinggi. “Saya juga ingin varietas ini dapat dibudidayakan secara massal,” ujarnya.

Untuk satu bibit setinggi 50 cm dengan usia 7 bulan, Prakoso mematok harga Rp 150.000. Ini hampir 10 kali lipat harga bibit alpukat mentega. Dalam setahun, Prakoso bisa menjual 500 bibit alpukat Hawaii jumbo senilai Rp 75 juta. Ia meraup margin laba di atas 50 persen. Selain berbisnis bibit alpukat, ia juga menjual bibit tanaman eksotis lain. Prakoso juga mempunyai beberapa perkebunan.

Oh, iya, buat yang belum tahu, Alpukat merupakan tanaman yang tumbuh di ketinggian medium, antara 200-1.200 di atas permukaan laut. Soalnya, tanaman ini tidak butuh banyak air.

Pohon akan mulai berbuah setelah 3,5 tahun. Empat tahun pertama, buahnya masih sedikit, kira-kira 20 butir saja. Setelah itu, dalam setiap tahun, jumlah buahnya akan meningkat 20 persen sampai 30 persen.

Pertumbuhan jumlah buah akan berhenti di usia pohon 7 tahun. Sampai usia itu, panen per pohon bisa mencapai 2 kuintal. “Panen alpukat bisa dua kali setahun,” kata Prakoso.

Ini Dia Sembilan Jawara Pengusaha Mikro




Sembilan pengusaha usaha kecil dan menengah terpilih sebagai pemenang Citi Microentrepreneurship Award (CMA) 2009.

Para pemenang mendapatkan hadiah pertama senilai Rp 11 juta, hadiah kedua Rp 9 juta, dan hadiah ketiga Rp 7 juta. Demikian siaran pers Citi, yang diterima Kompas.com.

Tahun ini, 44 nominasi terpilih dari 558 pengusaha mikro yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua. Dari jumlah tersebut disaring lagi hingga terseleksi 18 orang finalis yang diundang ke Jakarta untuk proses penjurian final pada 10 November 2009.

Para pengusaha mikro terbaik tersebut diseleksi oleh dewan juri CMA yang terdiri atas perwakilan media, Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Bank Indonesia, pengusaha, psikolog, dan UKM Center FEUI.

Para pengusaha mikro yang terpilih menjadi pemenang tersebut adalah Purwono, pengusaha studio shooting dari Jawa Tengah; Sumini, pengusaha rias manten campur sari dari DI Yogyakarta; dan Sri Widodo, pengusaha penyewaan dekorasi pengantin Jawa Tengah. Ketiganya pemenang kategori perdagangan dan jasa.

Kemudian untuk kategori makanan, minuman, dan bahan pangan adalah Nur Wasito, pengusaha keramba ikan kerapu di Sumatera Utara; Warsinah, pembuat tepung tapioka di Yogyakarta; serta Hanisah, pembuat dodol, minuman, manisan, mi, dan selai di Riau.

Adapun untuk kategori kerajinan dan produk lainnya adalah Maryuki, pengusaha kerajinan pajangan boneka Yogyakarta; Hastuti Sriningsih, pembuat peti mati dan perlengkapannya di Jawa Tengah; serta Nurlaily, perajin benang sutra di Sulawesi Selatan.

CMA 2009 menginjak tahun kelima dan merupakan kelanjutan Global Microentrepreneurship Award 2005 yang dilakukan UNDP dan UNCDF yang dilakukan secara international. Acara ini merupakan lanjutan dari penetapan International Year of Microcredit tahun 2004 yang ditetapkan PBB untuk membantu negara menyejahterakan masyarakat melalui kredit mikro.

Yang Miskin yang Berkorban



AP PHOTO/MOHAMMED SEENEEN
Presiden Maladewa Mohamed Nasheed menandatangani dokumen yang isinya mendesak semua negara untuk mengurangi emisinya menjelang Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) pada Konferensi Perubahan Iklim PBB, bulan Desember di Kopenhagen, dengan menyelam 6 meter di bawah permukaan laut di Pantai Girifushi, Maladewa, Sabtu (17/10). Para menteri dengan peralatan selam melakukan rapat kabinet untuk menunjukkan kepada dunia ancaman tenggelam yang dihadapi Maladewa akibat naiknya permukaan muka laut sebagai salah satu dampak perubahan iklim.

Tinggal 26 hari lagi dunia akan menyaksikan ”drama” yang akan dikenang oleh umat manusia, setidaknya pada empat dekade mendatang. Drama itu bertema perubahan iklim dengan setting kota Kopenhagen, Denmark, 7-18 Desember 2009.

Skenario awal sudah dituliskan pada lebih dari 1.500 lembar kertas yang berisi berbagai butir kesepakatan yang diharapkan bisa disepakati semua parties (baca: negara) dari Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Lebih dari 90 negara akan berkumpul di Kopenhagen berharap mendapatkan jawaban tentang apa yang akan dilakukan secara bersama untuk menghadapi tantangan perubahan iklim.

Persoalannya, negara kaya yang tergabung dalam kelompok Annex 1 malah mulai bergeser mundur, meminta agar kesepakatan yang dibuat bersifat tidak mengikat.

Negara-negara Annex 1 termasuk negara dengan ekonomi dalam transisi dari laporan tentang emisi gas rumah kaca (GRK) yang teranyar tahun ini—jika dihitung dengan memasukkan penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan deforestasi—ternyata pengurangan emisi agregat dibanding tahun 1990 mencapai 5,2 per sen dari 17.459,6 Triliun gram CO2 ekuivalen menjadi 16.547,1 Tg CO2 ekuivalen (UNFCCC, 2009).

Sementara itu, negara-negara Annex 1 nonnegara dengan transisi ekonomi, yang pada Protokol Kyoto 1997 dikenai kewajiban untuk mengurangi emisi karbonnya ternyata total emisi agregat termasuk penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan deforestasi (LULUCF) meningkat 11,2 persen pada kurun 1990-2007, sementara jika faktor LULUCF dimasukkan, emisinya naik 12,8 persen.

Kesulitan mengurangi emisi tersebut mendorong berbagai negara untuk memperkenalkan berbagai skema yang kemudian berujung pada perdagangan karbon yang ternyata oleh sejumlah negara ditolak.

Senat Amerika Serikat telah meloloskan undang-undang mengenai perubahan iklim—dengan undang-undang itu AS akan mengurangi emisi karbonnya hingga 20 persen dengan basis tahun 1990 pada tahun 2020.

Tegangan kaya-miskin

Dalam hiruk-pikuk perundingan bersama untuk mengatasi persoalan perubahan iklim, tegangan kaya-miskin semakin hari semakin meruncing.

Para perunding dan diplomat yang bertemu di Barcelona, Spanyol, ternyata belum mendapatkan kesepakatan baru. Bahkan terjadi gap yang semakin lebar antara negara miskin dan kaya.

”Pekerjaan ini tidak selesai, jauh dari harapan,” ujar negosiator dari Sudan, Lumumba Stanislaus Di-Aping, Ketua Group 77 dan China yang mewakili negara-negara miskin.

Bahkan sejumlah negara telah mengatakan tidak bersedia menandatangani kesepakatan yang mengikat—seperti Protokol Kyoto yang mewajibkan negara-negara Annex 1 mengurangi emisinya. Sebaliknya mereka justru mendorong adanya kesepakatan politis untuk mengurangi emisi karbon.

”Semua negara anggota G-77 dan China juga Afrika sudah berseru meminta negara maju mengurangi emisi, tetapi mereka menolak. Mereka bahkan meminta kami mengulur waktu sampai enam bulan,” tambah Di-Aping seperti dikutip Reuters. Adapun Amerika Serikat juga dikritik karena tidak menawarkan angka penurunan emisi secara tegas.

Padahal, semula Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) pada Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen tersebut dijadikan batas waktu adanya kesepakatan baru pengganti Protokol Kyoto. Pada perundingan di Barcelona, delegasi negara-negara Afrika sampai-sampai melakukan walk-out dan memboikot pertemuan.

”Ini fase sulit. Saya rasa semua pihak harus memainkan lagi perannya untuk dapat membuat kesepakatan mengikat yang kuat di Kopenhagen nanti. Itu butuh sekitar 12 bulan,” ujar Bill Hare, seorang ilmuwan dari Potsdam Institute, Jerman.

Delegasi RI melalui beberapa pendekatan bilateral mengeluarkan gagasan agar Kopenhagen menyepakati ”kesepakatan payung” berisi tujuan global jangka panjang, proses, hingga disepakati perjanjian internasional baru sebelum Juni 2010.

Kegeraman tak terucapkan telah mendorong Maladewa melakukan ”protes” dengan melakukan rapat kabinet di bawah air pada 17 Oktober lalu. Kabinet pemerintahan Presiden Maladewa Mohamed Nasheed menyerukan negara kaya mengurangi emisi karbonnya dengan serius. Maladewa merupakan salah satu negara pulau kecil yang terancam tenggelam akibat naiknya permukaan air laut.

Untuk menggedor nurani penguasa negara kaya, Maladewa juga mencanangkan sebagai negara dengan pembangkit listrik tenaga angin senilai 200 juta dollar AS dan menjadi ”negeri pulau kecil dengan karbon netral pada 2020”.

Tak kalah dengan Maladewa, Indonesia yang dinilai gambutnya adalah emiter terbesar di Asia, akibat keinginan besar untuk mendorong negara maju telah berani mengajukan angka 41 persen pengurangan emisi karbon tanpa berpikir panjang betapa pengurangan emisi sebanyak itu akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Maladewa dan Indonesia adalah negara-negara miskin dan berkembang yang prihatin akan kondisi stagnan perundingan. Kondisi yang akan menjerumuskan nasib umat manusia empat dekade mendatang. Inilah drama tragisnya: yang miskinlah rupanya yang rela berkorban sambil menunggu hal yang tak pasti: si kaya mungkin akan rela juga berkorban.

Waralaba Salon Bakal Berkibar Tahun Depan?



Bisnis usaha waralaba dan lisensi di sektor jasa salon perawatan diperkirakan masih akan diminati hingga tahun depan. Pasalnya, usaha ini dinilai kebal terhadap krisis keuangan global dan memiliki pangsa pasar yang luas.

Demikian disampaikan Ketua Umum Himpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI) Levita Supit, di sela-sela jumpa pers, di Hotel Redtop, Jakarta, Kamis (5/11). "Ibu-ibu itu mending enggak makan dan enggak belanja asal perawatan. Sepanjang perempuan masih banyak dan sepanjang perempuan itu masih ada, maka industri jasa akan berkibar," cetusnya.

Disamping itu, dia juga memprediksi untuk tahun depan sektor makanan dan minuman juga masih diminati. Dia mencontohkan, untuk sektor makanan yang diminati umumnya adalah jenis usaha seperti restoran yang menawarkan harga murah untuk kalangan menengah kebawah.

Adapun untuk sektor minuman, adalah jenis minuman siap saji yang dijual di sejumlah mall. "Kalau restoran waralaba yang diminati paling yang harganya jutaan. Begitu juga dengan minuman, itu yang berkisar Rp 5 jutaan juga banyak diincar," tandasnya.